Rabu, 12 Oktober 2011

Jangan berharap, Putuskanlah.



Ketika saya menunggu di sebuah bandara Portland untuk menjeput seorang teman. 
Saat mencari teman saya di antara kerumunan penumpang yang baru turun dari pesawat, 
saya melihat seorang pria berjalan ke arah saya dengan membawa dua tas di tangannya. 
Dia berhenti tepat di samping saya untuk menyapa keluarganya. 


Pertama, dia menyapa sambil memeluk anak laki-laki yang muda (6 thn). 
Ketika mereka saling menatap, saya mendengar sang ayah berkata, 
“Sangat senang bisa melihatmu nak. Aku sangat merindukanmu!” 
Anaknya tersenyum malu-malu, dan menjawab dengan pelan, “Aku juga ayah!” 

Kemudian laki-laki itu berdiri, menatap anak laki-lakinya yang tertua (sekitar 9 atau 10 thn) 
dan sambil memegang wajah anaknya dia berkata, “Kamu sekarang sudah jadi seorang pemuda. 
Aku sangat mencintaimu, Zach!” Mereka berdua berpelukan dengan penuh kasih. 

Ketika itu dia melihat bayi perempuannya dan langsung menggendongnya. 
“Halo gadis kecil!” sambil mengambil anak perempuan itu dari gendongan ibunya. 
Bayi kecil itu langsung mendekap sang ayah dan menaruh kepalanya di pundaknya, 
menunjukkan betapa ia merasa sangat nyaman. 

Setelah beberapa saat, dia memberikan anak perempuannya pada 
anak laki-laki tertuanya dan berkata, “Aku menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir!” 
dia kemudian mencium sang istri penuh dengan kemesraan dan kerinduan. 
Dia menatap mata sang istri beberapa saat dan berkata, “Aku sangat mencintaimu!” 
Mereka saling menatap dengan senyum kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, 
sambil tangan mereka saling berpegangan. 

Dengan rasa penasaran saya memberanikan diri menghampiri keluarga itu. 
“Wow! Berapa lama Anda berdua telah menikah?” dengan rasa penasaran saya bertanya. 
“Telah bersama total selama empat belas tahun, 
dua belas tahun diantaranya kami jalani dalam pernikahan,” 
jawab pria itu, tanpa melepaskan tatapannya dari wajah istrinya yang cantik. 
“Kalau begitu, sudah berapa lama kamu meninggalkan mereka?” tanya saya. 
Pria itu akhirnya berbalik dan memandang saya, masih dipenuhi dengan senyuman penuh dengan sukacita. 
“Dua hari.” 
Dua hari? Saya tertegun. Dengan penyambutan seperti itu, saya duga ia telah pergi selama 
beberapa minggu atau bulan. Saya tahu ekspresi saya tidak bisa menipunya. 

Saya berkata dengan pelan, berharap mengakhiri pembicaraan ini dengan sebuah kasih karunia 
(dan melanjutkan untuk mencari teman saya), 
“Saya berharap pernikahan saya akan masih penuh gairah seperti ini setelah dua belas tahun!” 
Pria itu kemudian berhenti tersenyum, dan menatap saya. 
Dia berkata, “Jangan hanya berharap, teman.. putuskanlah!” 
Kemudian sebuah senyum yang indah menghias wajahnya dan 
sambil menjabat tangan saya dia berkata, “Tuhan memberkati!” 

Jika Anda hanya berharap, semua harapan itu tidak akan pernah terwujud. 
Putuskanlah kehidupan seperti apa yang Anda inginkan, 
dan wujudkanlah dengan kerja keras setiap hari. 
Dengan anugrah Tuhan, maka Anda akan menikmati semua harapan itu terwujud.