Kamis, 15 April 2010

Massa Depan ada di masa Lalu

Saya pernah membaca kalimat motivasi: “Your past doesn’t equal your future” atau “Masa lalu Anda tidak sama dengan masa depan Anda”. Maksud dari pernyataan ini adalah apa pun yang terjadi di masa lalu kita tidak menentukan masa depan kita.

Benarkah demikian?    

Dulu saya menerima sepenuhnya pernyataan di atas. Dengan kata lain saya hakulyakin bahwa penyataan ini benar-benar benar. Namun, sekarang saya justru berpikir sebaliknya. Saat ini, saya tahu bahwa masa lalu sama dengan masa depan atau masa depan ada di masa lalu. 

Nah, bingung, kan?
Kesimpulan ini saya dapatkan setelah memikirkan secara mendalam berbagai kasus yang pernah saya tangani dan juga pengalaman hidup serta perubahan yang terjadi pada begitu banyak alumnus pelatihan Supercamp Becoming a Money Magnet dan The Secret of Mindset yang saya selenggarakan. 

Ceritanya begini. Jika masa lalu tidak sama dengan masa depan, lalu mengapa ada begitu banyak orang yang sulit mencapai impian mereka? Mengapa mereka, yang telah berusaha sedemikian keras alias melakukan massive action melakukan sangat banyak upaya, membaca banyak buku sukses, ikut berbagai pelatihan pengembangan diri, masih saja tetap sulit berhasil? 

Sebaliknya, mengapa ada orang yang tidak perlu membaca buku, tidak usah dengar kaset motivasi, nggak pernah ke berbagai seminar, dan hanya dengan upaya yang sedikit, eh… mudah sekali mencapai sukses yang mereka inginkan. 



Dari hasil perenungan saya akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa masa lalu seseorang sama dengan masa depan mereka. Jika tetap berpegang teguh pada pernyataan bahwa masa lalu tidak sama dengan masa depan maka kalimat ini perlu sedikit dimodifikasi.

Saya akhirnya menambahkannya menjadi, “Masa lalu tidak sama dengan masa depan, bila kita mengembangkan kesadaran diri untuk berpikir dan bertindak dengan prinsip kekinian.”
Lha, kamsud… eh.. maksudnya apa lagi nih?

Maksudnya begini. Dari berbagai kasus yang saya telaah, saya menemukan bahwa hampir semua tindakan kita, saat ini, dipengaruhi oleh kesimpulan akibat pembelajaran berdasar pengalaman hidup kita di masa lalu, baik itu pengalaman positif maupun pengalaman negatif. Dengan kata lain, selama kita tidak mengembangkan kesadaran diri untuk bisa berpikir dengan prinsip kekinian maka kita akan selalu beroperasi dengan “automatic pilot”. Sebenarnya di dalam pikiran kita tidak mengenal masa lalu maupun masa depan. Yang ada hanyalah masa sekarang.

Saya akan berikan contoh agar bisa lebih jelas.
Baru-baru ini saya menangani mahasiswa dari Yogyakarta yang putus kuliah. Ia bercerita bahwa ia tidak bisa berbicara di depan umum. Jika diminta bicara di depan orang banyak maka ia selalu merasa takut, tidak berdaya, jantung berdebar, muka pucat, keringat dingin, dan tidak tahu apa yang harus diucapkan. 

Dari mana ia belajar respon seperti ini? Sudah tentu dari masa lalunya. Di masa lalu, saat ia masih SD ternyata ia pernah dipermalukan di depan kelas saat diminta membaca puisi. Pengalaman traumatik ini yang akhirnya membuat ia seperti sekarang ini.

Seorang wanita cantik, menarik, pintar, berusia sekitar 30-an, memegang posisi kunci di perusahaan tempat ia bekerja, ternyata masih jomblo alias belum punya pasangan. Kok bisa, ya? 

Banyak pria mapan yang menyenanginya. Dan, ia juga suka pada mereka. Bahkan, ia telah menjalin kasih secara serius dengan beberapa pria itu. Namun, selalu putus di tengah jalan. Nggak pernah sampai ke pernikahan.

Selidik punya selidik ternyata wanita ini berasal dari keluarga broken home. Orangtuanya berpisah saat ia masih berusia lima tahun. Ternyata, perpisahan ini meninggalkan luka yang membekas cukup dalam di hatinya. Saat itu ia menyimpulkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah sesuatu yang menyakitkan.

Namun, ada juga orang yang telah beberapa kali mengalami kegagalan tapi ia tetap bisa bangkit dari kegagalan itu dan akhirnya berhasil mencapai impiannya. Saat ditanya mengapa ia bisa begitu gigih dan yakin dalam memperjuangkan impiannya ia menjawab, “Saya berasal dari keluarga miskin. Ayah saya selalu berpesan bahwa tidak ada orang yang gagal asalkan ia mau terus berusaha, belajar dari kegagalannya, dan terus berjuang. Prinsip ini yang saya pegang teguh.” Ia tidak membiarkan apa yang dialaminya sekarang menghentikan langkahnya. Yang menjadi pendorong semangatnya adalah pesan ayahnya, yang ia dapatkan sewaktu ia masih kecil dulu. 

Nah, Anda jelas sekarang? 
Tadi saya mengatakan bahwa masa lalu tidak sama dengan masa depan, bila kita mengembangkan kesadaran diri untuk berpikir dan bertindak dengan prinsip kekinian. Untuk bisa membuat masa depan tidak sama dengan masa lalu maka kita perlu mengembangkan kesadaran diri. Kesadaran ini yang membuat kita bertindak tidak lagi berdasar “data base” atau “program” pikiran akibat pengalaman masa lalu namun berdasar kondisi kita saat ini. Inilah yang saya maksudkan dengan prinsip kekinian. 

Prinsip kekinian menyatakan bahwa saat ini (kini) adalah titik awal dari langkah kehidupan yang akan kita tempuh. Kita beroperasi dengan pengetahuan, pengalaman, pemahaman, prinsip hidup, dan kebijaksanaan yang berhasil kita kembangkan hingga saat ini. Kita tidak membiarkan masa lalu mendikte hidup kita. Kita mengenang masa lalu hanya sebagai sejarah hidup kita. Kita belajar dari masa lalu dan menjadi lebih bijaksana. Nah, saat merenung mengenai kesadaran, kebijaksanaan, dan masa depan… eh.. tiba-tiba saya mendapat email dari kawan saya, Eric Gotana, melalui milis Money Magnet. Apa yang Eric tulis sejalan dengan yang sedang saya pikirkan. Dan, atas seizin Eric saya mengutip dan sedikit memodifikasi tulisannya.

Masa depan sama dengan masa lalu karena kita "tidak bebas" menjalani kehidupan di dunia sebagai akibat dari ketidaksadaran kita.

"Tidak bebas" menjalani hidup maksudnya tidak bebas menjadi diri kita sendiri karena rasa takut seperti takut dosa, takut karma buruk, takut salah, takut berakibat buruk dan takut-takut lainnya yang dibenarkan oleh pikiran kita. Pada contoh di atas, mahasiswa yang takut bicara di depan umum dan wanita yang susah dapat jodoh (baca: takut menikah) menjalani hidup dengan “tidak bebas” akibat penjara mental yang dibangun oleh pikiran mereka, untuk melindungi mereka dari hal-hal “negatif”, menurut pikiran itu sendiri. 

Ketidaksadaran ini disebabkan oleh karena pikiran kita merekayasa (baca: menafsirkan secara subjektif) kebenarannya sendiri dan secara terus menerus berputar-putar di dalam lingkaran sebab-akibat yang diciptakannya sendiri. 

 Ketidaksadaran membuat kita tidak sadar akan adanya :
  • kebenaran, karena kita terkekang oleh "kebenaran" dan "ketidakbenaran" menurut penafsiran pikiran kita.
  • keadilan, karena kita terkekang oleh "keadilan" dan "ketidakadilan" menurut penafsiran pikiran kita.
  • surga, karena kita terkekang oleh "surga" dan "neraka" menurut penafsiran pikiran kita.
  • karma baik, karena kita terkekang oleh "karma baik" dan "karma buruk" menurut penafsiran pikiran kita.
  • keberlimpahan, karena kita terkekang oleh "kekayaan" dan "kemelaratan" menurut penafsiran pikiran kita.
  • kebahagiaan, karena kita terkekang oleh "kebahagiaan" dan "ketidakbahagiaan" menurut penafsiran pikiran kita.
Hanya melalui kebijaksanaan kita mampu bebas dari jerat "benar" dan "tidak benar" menurut pikiran sehingga mampu melihat apa yang ada secara jernih. Kebijaksanaan hanya muncul ketika kita memutuskan untuk menjadi sadar. 

Pada saat kita telah benar-benar sadar maka masa lalu tidak sama dengan masa depan, masa depan tidak ada di masa lalu, masa depan adalah hasil pencapaian yang diraih melalui perencanaan yang matang berdasar peta kehidupan yang kita rancang sendiri, secara hati-hati dan saksama, berdasar kesadaran kita pada saat itu.

* Adi W. Gunawan, lebih dikenal sebagai Re-Educator