Cinta itu serasa kopi mocca.
Resah, gundah, dan selalu berujung amarah apabila kita tak terbiasa menyikapinya.
Indah, apabila kita telah mampu dan mau untuk terbiasa menikmatinya.
Pertama kali ketika kita dihadapkan pada kenyataan sebuah cinta, kita akan selalu merasakana apa yang mungkin selama ini belum pernah kita rasakan.
Rasa suka, rindu, ingin memiliki, terus mengasihi, dan selalu menyayangi merupakan hal indah yang akan kita rasakan.
Akan tetapi, tidak semuanya berjalan seperti apa yang selama ini kita inginkan.
Mungkin karena ego, ketidak cocokan, keserakahan, dan sebagainya semuanya justru dapat berbalik menjadi rasa benci, sebel, marah, marah, dan selalu marah.
Hal itu terjadi semata-mata karena kita tidak siap untuk menerimanya. Semata-mata karena kita hanya memandang cinta sebelah mata, selalu ingin menikmatinya tanpa pernah tau untuk memperhatikannya.
Itu lah dilema
cinta yang tak akan selalu sesuai dengan keinginan kita. Kita dituntut untuk dapat lebih mengenalnya, berkorban karenanya, memahami keberadaannya, dan bersinggungan dengannya.
Kapanpun dan dimanapun, selama ada cinta di situlah kita harus belajar agar selalu menyatu dengannya.
Sehingga, kita pun dapat dengan mudah untuk mampu merasakan apa yang telah cinta rasakan.
Itulah realita moccacinta.
Seperti meminum secangkir kopi mocca, kita tentu enggan dan merasa aneh saat pertama meminumnya, tapi akan merasakan nikmat saat kita telah terbiasa karenanya.
Moccacinta, membuat cinta terasa lebih bermakna karenanya.