”Kemampuan manusia untuk bertahan dalam penderitaan sangatlah mengagumkan. Namun, manusia tidak bersedia menderita tanpa alasan yang jelas dan kuat.
Pandir Karya
”Jika orang selalu kehabisan uang, merasa uangnya selalu tidak mencukupi, menganggap penghasilannya terlalu kecil, pertanda apakah itu gerangan?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Tanda penghasilannya kecil ,” kata Iin.
”Tanda dia orang miskin,” jawab Toni.
”Mungkin dia orang yang boros,” timpal Herlina.
”Atau gaya hidupnya yang sangat konsumtif,” ujar Didi.
”Bisa jadi karena ia punya penyakit yang perlu biaya besar,” jelas Diah.
”Wah orang itu mirip saya,” sela Rudy.
”Mungkin orangnya sering kecopetan tuh,” canda Yuyun.
”Saya kira orang yang suka ngutang begitu, gali lobang tutup lobang,” ujar Lilik.
”Kurang disiplin dalam mensyukuri nikmat Tuhan,” papar Dewi.
”Itu pertanda dia tidak berbakat untuk jadi kaya,” respons Indra.
*** Sebuah nasihat bijak diberikan oleh Paul Hanna dalam The Money Motivator berbunyi sebagai berikut
”Jika Anda selalu kehabisan uang, bukan berarti Anda tidak memiliki cukup uang. Melainkan, Anda tidak memiliki cita-cita yang cukup besar untuk membuat Anda menyisihkan uang. Sebab, jika Anda memiliki keinginan yang besar untuk dikejar, Anda tidak akan banyak membuang uang hasil kerja keras Anda hanya untuk godaan kecil saja.”
Nasihat tersebut mengingatkan saya pada seorang kawan yang bekerja sebagai pegawai negeri di lingkungan Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta pada pertengahan tahun 1980-an. Penghasilannya kala itu sekitar Rp 75.000 per bulan. Selagi belum menikah, penghasilan itu selalu habis dan bahkan ia sering kali harus berhutang kiri kanan untuk menghidupi dirinya. Lalu ia menikah. Ketika melihat istrinya mulai hamil, terjadi perubahan dalam pola konsumsi kawan saya ini. Penghasilannya relatif masih tetap. Namun ia kemudian masih bisa menabung sekitar Rp 7.000 per bulan. Ia melunasi hutangnya satu demi satu dan benar-benar mampu hidup dari penghasilannya yang tak banyak berubah itu.
Ia menemukan sebuah ”keinginan yang besar” untuk dikejar, karena cemas tak punya uang saat anaknya lahir nanti. Ia tidak ingin menjadi kepala keluarga yang dianggap tidak bertanggung jawab karena tak mampu menghidupi istri dan anaknya. Dalam dirinya ada semacam nilai yang menempatkan lelaki yang tidak bisa membiayai kehidupan keluarga sebagai manusia hina. Dan ia tidak mau dianggap hina. Ia terinspirasi oleh kecemasannya, sehingga muncul motivasi untuk berhemat dan mendisiplin diri dalam soal menggunakan uang. Ia telah mengalami apa yang saya sebut lompatan imajinasi, sehingga perilakunya berubah dalam soal keuangan. Ia mampu membayangkan dirinya menjadi lelaki yang terhormat, bukan lelaki hina. Ia telah menemukan tujuan emosionalnya.
Ia menemukan sebuah ”keinginan yang besar” untuk dikejar, karena cemas tak punya uang saat anaknya lahir nanti. Ia tidak ingin menjadi kepala keluarga yang dianggap tidak bertanggung jawab karena tak mampu menghidupi istri dan anaknya. Dalam dirinya ada semacam nilai yang menempatkan lelaki yang tidak bisa membiayai kehidupan keluarga sebagai manusia hina. Dan ia tidak mau dianggap hina. Ia terinspirasi oleh kecemasannya, sehingga muncul motivasi untuk berhemat dan mendisiplin diri dalam soal menggunakan uang. Ia telah mengalami apa yang saya sebut lompatan imajinasi, sehingga perilakunya berubah dalam soal keuangan. Ia mampu membayangkan dirinya menjadi lelaki yang terhormat, bukan lelaki hina. Ia telah menemukan tujuan emosionalnya.
Seorang kawan lagi menceritakan pengalaman yang berbeda tapi sama. Ia bekerja sebagai pemilik usaha konsultan dengan empat orang pegawai di akhir tahun 1990-an. Kala itu penghasilannya sekitar Rp 30 juta per bulan. Dengan seorang istri dan tiga orang anak yang berangkat remaja, uang hasil kerjanya itu sering kali habis tak berbekas. Ia nyaris tak menambah jumlah tabungan, sehingga portofolio investasinya tak berubah selama 2-3 tahun terakhir.
Sampai kemudian ia menetapkan keinginannya untuk mengganti mobil Great Corolla yang sudah digunakanya lima tahun terakhir dengan Mercedez Benz model terbaru. Keinginan ini memicu semangat kerjanya, sehingga ia lebih rajin menghubungi klien dan lebih banyak menjual jasa konsultansinya. Ketika mobil mewah idaman itu kemudian dibeli dengan cicilan yang cukup tinggi—yang harus dibayar tiap bulan—maka segera terlihat bagaimana gairah kerja dan produktivitasnya meningkat tajam.
Dalam satu tahun omzet usahanya naik sekitar 250 persen. Dan tentu saja penghasilan pribadinya pun bertambah secara luar biasa, sehingga ia bisa melunasi cicilan mobil mewah tersebut tiga tahun berikutnya. Semua itu terjadi karena ia melakukan lompatan imajinasi dan membalut imajinasinya dengan emosi sehingga ia menginginkan apa yang tadinya sekadar ia pikirkan. Ia bergerak, bangun dari zona kenyamanannya dan menantang diri untuk melangkah maju.
Sampai kemudian ia menetapkan keinginannya untuk mengganti mobil Great Corolla yang sudah digunakanya lima tahun terakhir dengan Mercedez Benz model terbaru. Keinginan ini memicu semangat kerjanya, sehingga ia lebih rajin menghubungi klien dan lebih banyak menjual jasa konsultansinya. Ketika mobil mewah idaman itu kemudian dibeli dengan cicilan yang cukup tinggi—yang harus dibayar tiap bulan—maka segera terlihat bagaimana gairah kerja dan produktivitasnya meningkat tajam.
Dalam satu tahun omzet usahanya naik sekitar 250 persen. Dan tentu saja penghasilan pribadinya pun bertambah secara luar biasa, sehingga ia bisa melunasi cicilan mobil mewah tersebut tiga tahun berikutnya. Semua itu terjadi karena ia melakukan lompatan imajinasi dan membalut imajinasinya dengan emosi sehingga ia menginginkan apa yang tadinya sekadar ia pikirkan. Ia bergerak, bangun dari zona kenyamanannya dan menantang diri untuk melangkah maju.
Kedua contoh sederhana di atas ingin menegaskan bahwa untuk menjadi kaya, kita perlu melakukan lompatan imajinasi, mampu membayangkan suatu kehidupan yang lebih baik dari keadaan kita saat ini. Lalu, agar lompatan imajinasi itu tidak sekadar jadi angan-angan, maka kita perlu sering memikirkan keadaan yang kita inginkan tersebut. Kita perlu ”melihat”, ”mendengar”, dan ”merasakan” keadaan yang kita inginkan itu, sampai tumbuh emosi yang menyertai pikiran tersebut.
Dengan begitu imajinasi kita telah dibalut oleh emosi. Artinya, meskipun pada kenyataannya kita belum sampai pada keadaan yang kita cita-citakan, namun secara emosional keadaan itu sering kali sudah hadir dalam benak kita. Inilah yang saya maksudkan sebagai imajinasi yang emosional. Ia bukan angan-angan atau khayalan kosong. Ia adalah bara api yang menyala dalam dada.
Dengan begitu imajinasi kita telah dibalut oleh emosi. Artinya, meskipun pada kenyataannya kita belum sampai pada keadaan yang kita cita-citakan, namun secara emosional keadaan itu sering kali sudah hadir dalam benak kita. Inilah yang saya maksudkan sebagai imajinasi yang emosional. Ia bukan angan-angan atau khayalan kosong. Ia adalah bara api yang menyala dalam dada.
Kedua kawan saya tadi berhasil membangun imajinasi emosionalnya. Yang pertama dipicu oleh kecemasan akan dianggap menjadi lelaki tak bertanggung jawab bila tak punya uang untuk membiayai kelahiran anak dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ia digerakkan oleh ketakutan dan kecemasannya ke arah yang positif. Yang kedua dipicu oleh kemampuan membayangkan dirinya menggunakan mobil mewah idaman hati, dan mungkin juga perasaan menjadi orang hebat, orang sukses, atau perasaan lainnya yang menyertai penampilannya. Ia digerakkan oleh tujuan dan keinginannya ke arah yang positif. Yang pertama menjadi lebih hemat dalam mengelola jumlah yang yang sama. Yang kedua menjadi lebih produktif, sehingga memperoleh lebih banyak uang.
Dalam menyimak situasi hidup di Jakarta dan sekitarnya, saya menyaksikan bahwa banyak orang yang berkata ingin menjadi kaya, tetapi sesungguhnya tidak benar-benar menginginkan hal itu. Terbukti mereka tidak belajar melakukan lompatan imajinasi untuk mulai berpikir seperti orang kaya. Mereka tidak membangun imajinasi yang emosional, menetapkan tujuan yang menggugah perasaan secara mendalam dan otentik. Mereka tidak bersedia mendisiplin diri dalam menabung dan berinvestasi secara bertahap, waktu demi waktu. Andai pun sempat menyisihkan sejumlah uang untuk ditabung, mereka kemudian mudah tergoda oleh paket-paket diskon dan pameran-pameran barang konsumtif di kuil-kuil konsumerisme yang bernama mal atau pusat pembelanjaan.
Imajinasi yang emosional, tujuan yang menggugah perasaan, cita-cita yang jujur dari hati, adakah kita memilikinya? Kalau hal itu ada, berapa kecil pun penghasilan kita, pasti ada cara untuk menyisihkan sebagian untuk ditabung, untuk diinvestasikan, untuk disisihkan agar terus bertambah. Dengan demikian akan tiba saatnya apa yang kita inginkan bisa terwujud, tujuan bisa tercapai, cita-cita menjadi realita. Percayalah!