Ada sepasang kakak beradik. Mereka berdua tinggal di apartemen di lantai 80. Suatu hari saat mereka kembali ke rumah setelah berlibur, ternyata ada pemadaman listrik di gedung apartemen mereka selama 1 hari penuh. Walaupun mereka membawa satu tas punggung besar dan berat, mereka tidak punya pilihan lain selain naik tangga darurat untuk kembali ke apartemen mereka. Sang kakak berkata, “kita saat ini hanya bisa naik tangga kalau ingin pulang.” Akhirnya kakak beradik ini pun menuju tangga darurat dan mulai mendaki tangga satu per satu.
Awal pendakian, mereka masih penuh dengan tenaga dan saling bercerita tentang liburan mereka. Bercanda dan tertawa. Namun sesampainya di lantai 20, mereka mulai kelelahan. Sang kakak kembali berkata, “wah, tas punggung kita terlalu berat! Bagaimana kalau kita tinggalkan saja tas kita disini, kemudian saat listrik sudah nyala kembali, kita baru kembali mengambil tas kita.” Sang adik pun setuju dengan ide tersebut. Mereka akhirnya menaruh tas mereka yang berat di lantai tersebut dan melanjutkan mendaki.
Mereka melanjutkan mendaki sambil tertawa-tawa dan bercanda. Sampai akhirnya di lantai 40, mereka benar-benar sudah merasa kelelahan. Mereka mulai frustasi karena walau mereka sudah kelelahan, ternyata mereka baru mendaki setengah jalan. Saat itu kakak beradik ini mulai saling menggerutu dan saling menyalahkan. Saling menunjuk mengapa tidak perhatian dan mengingat pengumuman tentang pemadaman listrik. Mereka sambil bertengkar sambil lanjut mendaki.
Pertengkaran ini terus terjadi sampai tak terasa mereka sudah sampai di lantai 60. Sang adik berkata, “kita jangan berkelahi lagi. Lebih baik kita simpan tenaga kita yang masih tersisa ini untuk memanjat.” Kakak beradik ini pun berhenti bertengkar dan terus lanjut mendaki. Mereka mendaki dalam diam, tak ada satu pun yang berbicara. Sampai akhirnya mereka sampai juga di lantai 80! Sampai di depan pintu apartemen mereka. Tapi tiba-tiba si adik sadar kalau kunci kamar mereka semua ditaruh di dalam tas punggung mereka di lantai 20.
Teman-teman, sadarkah teman-teman kalau kisah di atas tersebut menggambarkan kisah kehidupan sebagian besar manusia. Hidup adalah layaknya kita mendaki tangga. Setiap langkah membutuhkan perjuangan dan tenaga. Setiap lantai menggambarkan usia kita.
Saat umur 40an, banyak orang yang merasa tidak puas dengan keadaan dirinya. Banyak yang merasa menyesal dengan keadaan dirinya, dan mulai mencari kambing hitam. Mulai berandai-andai seandainya waktu muda saya bisa melakukan sesuatu, berandai seandainya saat muda tidak melepaskan kesempatan yang lewat, dll. Saat berumur 60an mulai menyadari bahwa waktu hidup sudah tidak akan lama. Mulai perlahan-lahan memberitahu diri sendiri agar jangan menyesali hidup, jangan menggerutu. Mulai berusaha untuk menyayangi waktu dan energi yang tersisa untuk baik-baik menjalani sisa waktu. Kemudian mulai melanjutkan sisa waktunya dalam “diam”.
Saat sudah menjelang tutup usia, baru menyadari bahwa ada yang kurang dalam hidup. Ada hal yang belum selasai dilakukan. Ada hal yang terlupakan. Ternyata hal tersebut adalah mimpinya yang ditinggalkan saat berumur 20. Akhirnya apabila saat itu baru mau berusaha mencapai mimpi, berusaha melakukan yang selalu dibisikan oleh hati kita, kemungkinan besar waktu sudah tidak mengijinkan lagi.
Oleh karena itu teman-teman, para pembaca blog saya, saya yakin sebagian besar dari teman-teman masih berumur 20an. Bahkan mungkin masih ada yang berumur belasan. Saya berharap kita semua tidak menjadi seperti kakak beradik dalam cerita di atas. Menyesal karena meninggalkan sesuatu yang beharga di lantai 20. Memang pada saat umur 20an, teman-teman akan merasa bahwa menjalankan tuntutan pekerjaan sehari-hari, tuntutan biaya hidup, dll, sambil terus berusaha merealisasikan mimpi teman-teman akan cukup memberatkan. Belum lagi seandainya telah berkeluarga dan harus membiayai kehidupan keluarga, dan masih banyak lagi tuntutan hidup lainnya. Saat itu kita mungkin akan merasa kalau berusaha terus “membawa” mimpi di pundak kita dan terus berusaha mewujudkan mimpi akan menyusahkan kita. Membuat kita kelelahan, terutama saat mimpi kita tersebut adalah mimpi yang “sangat besar” atau “tidak umum”. Wajar rasanya ketika banyak orang mulai meninggalkan mimpinya demi “kenyataan hidup”.
Saat itu, sepertinya melepaskan mimpi sepertinya menjadi pilihan yang lebih mudah dibanding pilihan yang lain. Mungkin kita akan berpikir “banyak juga orang lain yang juga seumur hidupnya tidak pernah merealisasikan mimpinya. Jadi tidak masalahlah.” Saat itu mungkin teman-teman merasa tidak masalah, tapi apakah teman-teman mau mengambil resiko menyesal di kemudian hari? Menyesal bahwa teman-teman tidak pernah punya keberanian dan tenaga lebih untuk terus “membawa” mimpi di pundak teman-teman.
Bertahanlah dalam membawa beban berat di pundak teman-teman. Berdoalah kepada Tuhan untuk menguatkan pundak teman-teman . Jangan pernah menyerah dan yakinlah bahwa semua kerja keras teman-teman akan terbayar. Saya yakin, saat teman-teman tiba di lantai 80, tidak akan ada penyesalan di hati teman-teman. Melainkan senyum manis dan cerita bahagia bagi anak cucu teman-teman.
Semoga teman-teman punya keberanian, tenaga dan semangat yang tidak dimiliki oleh sebagian besar manusia di dunia ini dalam mengejar mimpi teman-teman. Dan semoga sampai tua nanti tidak akan ada penyesalan di hati teman-teman.
Bertahanlah dalam membawa beban berat di pundak teman-teman. Berdoalah kepada Tuhan untuk menguatkan pundak teman-teman . Jangan pernah menyerah dan yakinlah bahwa semua kerja keras teman-teman akan terbayar. Saya yakin, saat teman-teman tiba di lantai 80, tidak akan ada penyesalan di hati teman-teman. Melainkan senyum manis dan cerita bahagia bagi anak cucu teman-teman.
Semoga teman-teman punya keberanian, tenaga dan semangat yang tidak dimiliki oleh sebagian besar manusia di dunia ini dalam mengejar mimpi teman-teman. Dan semoga sampai tua nanti tidak akan ada penyesalan di hati teman-teman.