'Pisau dan Pohon' merupakan salah satu kisah inspiratif yang menggambarkan pentingnya mengendalikan amarah yang bergejolak dalam dada kita.
Alex adalah seorang pemuda bertemperamental buruk, seringkali ia membentak istrinya tiada henti. Setiap kali ada perkara yang menurutnya tidak benar meskipun hanya sebuah masalah kecil dia akan langsung menyalahkan sang istri dan memarahinya.
Suatu hari ayahnya mendapati keributan yang terjadi dalam rumah tangga anaknya itu. Beliau pun memanggil dan mengajak Alex ke suatu tempat. Ternyata mereka tiba disebuah pohon besar di pinggir danau. Si ayah menyerahkan sebilah pisau dan menyuruhnya melemparkan pisau tersebut ke batang pohon di hadapan mereka.
"Untuk apa?" tanya Alex.
"Lakukan saja!" perintah ayahnya lagi.
Dengan acuh tak acuh Alex melaksanakan perintah itu. Dilemparkannya pisau ke arah pohon tersebut. Pisau itu hanya membentur batang pohon dan terjatuh ke tanah.
"Ayah, jika engkau mengharapkan aku mampu melempar pisau hingga menembus kulit pohon itu, engkau sama saja dengan bermimpi. Seandainyapun aku ahli dalam melempar pisau, tapi tidak bisakah kau lihat betapa tebalnya kulit pohon ini? Itu hal yang mustahil aku lakukan."
Sama sekali tak terpengaruh dengan ucapan Alex itu, ayahnya kembali menyuruh dia mengulangi melempar pisau. Berulangkali Alex mencoba melempar pisau tersebut, pada awalnya ia kembali gagal.. gagal dan gagal.. Tetapi sekali, dua kali ia akhirnya berhasil menancapkan pisau di batang pohon yang besar tersebut meskipun tidak begitu dalam.
Namun sang ayah masih belum puas, beliau masih meminta Alex untuk melanjutkan aksinya. Sementara Alex yang mulai kehilangan kesabaran akhirnya tidak tahan lagi.
"Hey, orang tua. Aku tidak peduli apabila dirimu adalah ayahku. Tapi aku sama sekali tidak mengerti dengan keinginanmu, apa pentingnya pisau dan pohon ini hingga aku harus menghabiskan waktuku di tempat ini?"
"Dasar anak muda jaman sekarang, melakukan hal sekecil ini saja tak becus. Berhentilah menjadi sok jagoan jika melempar pisau saja kau tak mampu." tegur ayahnya dengan suara lantang sembari mencabut pisau yang masih tertancap.
Alex benar-benar tidak bisa lagi mengontrol emosinya.
"Berikan pisau itu, akan aku buktikan betapa hebatnya aku. Tak ada hal yang tak bisa aku lakukan!" sentaknya marah dan kemudian dengan penuh amarah di lemparkannya kembali pisau tersebut. Kali ini tidak diragukan lagi pisau itu menghujam batang pohon begitu dalam. "Kau lihat itu!" serunya menatap lelaki tua di hadapannya dengan tatapan menantang. "Aku bisa melakukannya!".
Orang tua itu hanya tersenyum, sembari berjalan mendekati pohon itu ia berujar pelan, "Kau benar, anakku, kau bisa melakukannya.", dengan mengeluarkan tenaga yang lumayan besar dicabutnya pisau dari pohon yang ternyata benar-benar tertancap kuat, "Dengan luapan emosi seperti itu apapun bisa kau hancurkan, anakku...", "Kemari dan lihatlah ini..." panggilnya.
Alex yang mulai bisa mengatur emosinya kini hanya terdiam bingung sembari mendekati ayahnya.
"Apakah kau dapat melihat lubang yang ditinggalkan oleh pisau ini? Dapatkah kau melihat dalamnya kerusakan yang diakibatkan oleh lemparan pisau dikala engkau sedang marah? Apakah menurutmu pohon ini akan kembali seperti sedia kala?", "Kurang lebih seperti itulah bekas yang akan kau tinggalkan setiap kali engkau mengambil sebuah tindakan untuk melampiaskan amarahmu. Tidak akan menjadi masalah jika engkau melampiaskannya pada masalah-masalah yang mengakibatkan amarahmu muncul, bila untuk mencari jalan keluar dalam mengatasinya. Namun pernahkah kau berpikir luka seperti apa yang akan kau berikan apabila kau melampiaskan setiap amarahmu kepada seseorang? Seseorang yang mempunyai hati dan perasaan."
"'Maaf' mungkin bisa menyembuhkannya, tapi takkan pernah bisa menghapus bekas luka yang telah ditimbulkannya..."
Inspirational Quote:
Speak when you are angry and you will make the best speech you will ever regret. - Ambrose Bierce
Author: Why
¤¤¤¤¤