Pak Permana meninggal dunia," kata teman saya di telepon. Saya
terkesiap. Dua hari lalu saya sempat bertemu dengan Pak Permana.
Masih segar bugar. Kami ngobrol ngalor-ngidul, sambil bersenda gurau dan
tertawa-tawa. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun hidup Pak Permana akan
sesingkat itu. Rupanya, Pak Permana terkena serangan jantung.
Sehabis bermain tenis, ia mengeluh dadanya sakit. Lalu, tidak lama
sesudah itu ia pingsan. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengembuskan
napasnya yang terakhir.
Begitulah hidup. Sangat ringkih. Bisa dibilang, kita ini berada di bawah
bayang-bayang kematian. Setiap saat kita bisa dijemput oleh kematian.
Kapan saja dan di mana saja. Tidak saja ketika usia kita sudah uzur atau
ketika tubuh sakit-sakitan. Namun juga saat kita "masih" di usia muda,
berada di puncak karier, dan di saat tubuh kita sehat. Kematian tidak
pandang bulu; tidak pandang usia; tidak pandang situasi dan kondisi
kita. Pemazmur bahkan mengibaratkan hidup kita ini seperti rumput; yang
di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, akan tetapi di waktu petang ia
sudah lisut dan layu.
Lalu bagaimana? Apakah kita pasrah dan pasif saja menjalani hari-hari,
sekadar untuk menunggu kematian datang? Tidak. Kesadaran bahwa kita bisa
kapan saja dijemput kematian seharusnya mendorong kita untuk hidup
dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Soal kapan pun kematian itu
datang menjemput, kalau kita sudah berusaha hidup bijak dan bajik di
dalam Tuhan, kita akan menghadapinya dengan tenang. Untuk itu, kuncinya
adalah berjaga-jaga senantiasa.
YANG PENTING BUKAN KAPAN KITA MATI
TETAPI BAGAIMANA KITA HIDUP